Kamis

Makna di Balik Menyontek

SIAPA sangka, di mata anak-anak kita, ternyata menyontek itu bukan semata perkara moral. Bukan sekadar bisa atau tidak menjawab soal. Bukan pula tentang lulus atau tidak lulus. Contek menyontek memiliki makna yang lebih mendalam bagi mereka. Memberikan contekan bisa berarti bukti tingkat setia kawan, harga diri, keberanian, strategi mendapat pasangan, sampai pada kepentingan ekonomi.

Satu hal lagi, ternyata menyontek juga bukan monopoli mereka yang ber-IQ rendah saja. Anak-anak yang masuk ke dalam kelompok otak brilian juga tak lepas dari perilaku ini. Bahkan sang juara kelas pun sekali-kali pernah melakukannya. Entah mungkin betul-betul sekali-kali atau mungkin berulang kali. Bisa jadi, semakin encer otak seseorang, maka semakin lihai pula dia berstrategi dalam menyontek. Memang harus diakui, menyontek adalah jalan pintas yang sangat populer dan “lazim”. Mmm… Apa kata dunia?!!!!
Semakin banyaknya makna dari aksi contek menyontek, menjadikannya bukan lagi pekerjaan yang memalukan. Justru memiliki banyak tantangan. Dengan cara inilah seseorang bisa membuktikan nyalinya. Nyali untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Juga karena penuh dengan resiko dan sepintas hemat energi. Bagi anda yang pecundang (baca: jujur), tak usah repot-repot mencobanya.
Seorang pelajar tingkat atas pernah bercerita kepada saya tentang motivasinya saat dia memberikan contekan kepada temannya saat ujian. Baginya, rasa iba dan bukti persahabatan bisa dijembatani dengan memperlihatkan lembar jawaban kepada teman. Minimal memberikan kesempatan teman untuk menyontek. Caranya dengan menempatkan lembar jawaban ujian di posisi yang memungkinkan bagi teman untuk melihatnya. Selain itu, dengan tindakan ini prestise dan harga diri bisa terdongkrak. Syukur-syukur bisa memancing perhatian si teman spesial. Juga sebagai langkah antisipasi, jika kelak dia berada pada posisi membutuhkan bantuan. Jadi, bisa dikatakan ini sebagai langkah investasi. Saling tolong menolong. Siapa tahu, hari ini memberi contekan, esok hari jadi penyontek. Dalam hati saya berpikir, bisa-bisanya mereka berpikir ke arah itu.
Dulu, seorang teman sekolah pernah memanfaatkan urusan yang satu ini untuk kepentingan bisnis ala anak sekolahan. Imbalan makan siang gratis atau sekadar pulang diantar, bisa didapatkan hanya dengan sedikit memiringkan lembar jawaban agar bisa dilihat teman di belakang saat ujian. Hitung-hitungan imbalan bisa menggunakan patokan khusus pada pelajaran khusus. Nah, jika sudah seperti ini, maka biasanya pola imbalan bukan lagi berupa traktiran, namun berupa sejumlah nominal. Lumayan, bisa nambah uang jajan.
Semua serba serbi alasan dan urusan yang berhubungan dengan terjadinya contek menyontek memang sungguh merepotkan. Seolah-olah sudah sangat akut dan sulit untuk diabaikan. Ditambah lagi dengan ketidakpedulian seorang pengajar pada kebiasaan jelek muridnya. Posisinya sebagai pengawas kala ujian berlangsung malah sering digunakan untuk bergunjing. Jika sendirian atau secara kebetulan mendapat pasangan yang tidak banyak cakap, maka terkantuk-kantuklah beliau.
Contek menyontek tidak hanya terjadi di sekolah pinggiran saja. Perilaku ini sudah lintas batas wilayah dan terjadi di hampir semua tingkat pendidikan formal. Dan bukan hanya terjadi di negara kita saja. Konon sebuah berita pernah melaporkan, betapa para pelajar di negara maju macam AS sudah terbiasa dengan perilaku buruk ini.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh “2008 Report Card on the Ethics of American Youth”, sebuah organisasi yang berpusat di Los Angeles, di hampir 30.000 siswa sekolah di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang tidak terduga dalam hal menyontek. Kebiasaan menyontek ini sepadan dengan kebiasaan buruk lain seperti berbohong dan mencuri. Fakta ini sangat memprihatinkan karena menyangkut masa depan mereka saat kelak menjadi orang tua, jenderal, wartawan, eksekutif bahkan politikus generasi mendatang (Antara News).
Hasil studi itu menyimpulkan ternyata kebiasaan menyontek di sekolah terus merebak dan bertambah parah. Ada angka kenaikan saat diperbandingkan dengan hasil studi tahun sebelumnya. Dan yang lebih ironis, ternyata prosentase siswa dari sekolah agama menunjukkan angka menyontek 63 persen atau lebih besar dari siswa dari sekolah non agama yang hanya 47 persen. Hasil studi ini menjadi sebuah peringatan tentang tingkat kejujuran generasi muda Amerika yang bisa mempengaruhi perjalanan peradaban negara itu di masa depan.
Lantas, bagaimana di negara kita? Apakah kita sudah sedemikian siap menata masa depan dengan keyakinan penuh terhadap anak-anak kita? Apakah pernah diantara kita sudah yakin dengan moral anak-anak kita? Apa mungkin kita tidak pernah berpikir sejauh itu?
Mungkin belum ada penelitian sejenis terhadap anak-anak kita. Namun, boleh-boleh saja kita berkaca dari hasil penelitian di atas. Ada saatnya kita memulai untuk mengurangi perilaku menyontek di kalangan anak-anak kita agar tidak menjadi suatu kebiasaan yang terus di bawa hingga dewasa saat mereka berkarir. Perlu pembenahan sistem yang bisa menutup sama sekali kemungkinan seseorang untuk menyontek. Kalau perlu dibuat suatu gerakan moral untuk menegaskan betapa menyontek itu sungguh perbuatan yang tercela. Sama celanya dengan perilaku korupsi. Korupsi bukan terhadap harta namun pada ilmu.
Dan satu hal lagi yang wajib dilakukan kita adalah memberikan tauladan yang patut. Agar anjuran atau nasihat yang kita sampaikan bisa masuk ke dalam hati mereka. Bukan sekadar jarkoni yang hanya bisa mengajar tanpa bisa nglakoni apa yang kita ajarkan. Jadi, silahkan kita saling intropeksi diri. Dan menjawab sebuah pertanyaan besar untuk diri sendiri, “Bagaimana caranya agar kita tidak menyontek lagi?” Setelah terjawab, maka kita baru bertanya, “Bagaimana caranya agar anak-anak kita tidak menyontek lagi?” Saya kira ini lebih adil.