CHARACTER BUILDING
Masih ingatkah Anda pada kasus Ujian pada tahun yang lalu? Ya saat itu ada Orang tua si anak melaporkan kejadian kecurangan UASBN pada walikota, dan walikota mencopot kepala sekolah dan menurunkan kepangkatan dua guru di SD tersebut, (kita tentu bangga dan terharu, akan kejujuran anak dan orang tua pelapor tersebut, tapi justru cerita tragis dimulai), orang tua anak-anak lainnya tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh orang tua pelapor, kemudian bersama dengan masyarakat sekitar mendatangi dan mengintimidasi keluarga sang pelapor serta memaksanya untuk meminta maaf. Orang tua sang pelapor dengan tergopoh-gopoh dan penuh ketakutan meminta maaf, tapi masyarakat tetap tidak puas dan tetap mengusirnya untuk keluar dari kampung itu. Orang tua sang pelapor itu pun dengan berat hati pergi dari kampung tempat tinggalnya untuk mengungsi ke tempat orang tuanya di kota yang jauh.
Maka tentu saja nurani kita terusik, Apakah ini Sebuah harga yang harus dibayar untuk sebuah kejujuran? Apakah masyarakat kini telah menjadi kelompok hegemoni baru yang secara perlahan memusuhi sebuah kejujuran? Apakah kejujuran yang seharusnya disemai di lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah telah kering kerontang karena mengejar hasil dalam bentuk nilai UN, bukan lagi pada proses penanaman karakter kejujuran? Apakah anak-anak kita dengan perlahan dan sistemik harus belajar dari lingkungannya untuk tidak lagi jujur, karena tiap hari mereka belajar ketidak jujuran dari orang-orang tuanya, dari guru-gurunya, dari kaka-kakanya, dari pemimpin-pemimpin Bangsanya?
Kasus diatas hanya sebagaian kecil yang terungkap, mungkin saja ini hanya fenomena gunung Es, masih banyak kasus lain yang tidak terungkap, dimana berbagai fenomena sosial lainnya cukup mengkhawatirkan. Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi. Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap biasa. Mata hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada keadilan, pedang hukum hanya tajam pada rakyat tak berdaya, tetapi mandul pada yang berkuasa.
Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah teredusir menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.
Padahal, pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal, kekerasan, terorisme dan lain-lain.
Oleh karena itu, pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modern. Menurut M Dawam Raharjo, peradaban modern dibangun dalam empat pilar utama, yakni induk budaya (mother culture) agama yang kuat, sistem pendidikan yang maju, sistem ekonomi yang berkeadilan serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang humanis. Sebenarnya keempat pilar tersebut sudah dimiliki Indonesia, tinggal bagaimana keempat hal tersebut berjalan secara fungsional melalui pendidikan.
Salah satu poin penting dari tugas lembaga pendidikan adalah membangun karakter (character building) anak didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku.
Peran Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang paling depan dalam mengembangkan pendidikan karakter. Karena melalui sekolah proses-proses pembentukan dan pengembangan karakter siswa mudah dilihat dan di ukur. Peran sekolah adalah memperkuat proses otonomi siswa,
Karakter dibangun secara konseptual dengan menggunakan pilar moral. Karakter individual maupun komunal dibangun melalui dua aspek yang saling terkait yakni aspek otonomi dan heteronomy. Otonomi merujuk pada proses pembelajaran melalui internalisasi dalam diri anak yang ditunjukan melalui kemampuan melakukan orientasi evaluatif dimana siswa dapat membedakan baik dan buruk serta mengatur yang baik dan menghindari yang buruk, memiliki kewajiban terhadap standar sosial kolektif, memiliki tanggung jawab untuk peduli terhadap orang lain; memiliki perhatian akan hak-hak orang lain; memiliki komitmen kejujuran dalam hubungan interpersonal, serta memiliki keadaan pikiran yang menyebabkan reaksi emosi negatif terhadap tindakan amoral. Sementara Heteronomi merujuk kepada aspek eksternal yang berada diluar diri anak yakni adanya penegakan peraturan sekolah, keteladanan para guru dan pimpinan sekolah, perlakuan yang adil bagi setiap siswa, lingkungan sekolah yang menyenangkan dan mengembangkan potensi siswa.
Sekolah harus menanamkan Nilai-nilai keTuhanan, keSalehan, keWarganegaraan sebagai sumber perilaku. Sumber prilaku tersebut akan di internalisasi melalui proses pendidikan karakter dengan memahami, peduli dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kesehariannya di rumah, sekolah maupun masyarakat. Proses pembentukan karakter seperti ini yang terus menerus dilakukan akan menghasilkan perilaku berkarakter.
Oleh karena itu untuk membentuk karakter anak yang baik dan positif, diperlukan sinergi yang harmoni antara proses pembelajaran di kelas yang membentuk aspek otonomi anak, dengan budaya dan lingkungan sekolah sebagai aspek heteronomi harus sejalan dan saling mendukung. Ketika salah satunya rapuh bahkan saling bertentangan, maka pembentukan karakter anak tidak akan berjalan baik dan efektif, termasuk mungkin akan tergerusnya Karakter Kejujuran seperti dalam cerita diatas. Wallahu‘alam bisawab