Senin

Hubungan Tanpa (Tapi Sebenarnya Ingin Punya) Status

Silakan pakai helm dulu sebelum membaca, karena saya tahu beberapa (mungkin lebih banyak dari dugaan saya) dari Anda akan merasa seperti dibogem mentah bolak-balik. 
Saya tanya dulu deh ya:  apa ada di sini yang sedang menjalani hubungan tanpa status?
*merunduk, takut ditimpuk*
Udah kalem?  Bagus.  Yuk kita terusin lagi.
Apa sih hubungan tanpa status yang dikenal dengan HTS itu?  Banyak pembenarannya nih, apalagi setelah era propaganda cinta ala Barat modern yang menyusup masuk ke Indonesia dengan kedok ‘romantic comedy’.  Sepertinya ucapan seperti, “Gue nyaman banget sih sama dia, jadi ya kita jalanin aja,” menjadi semacam hal yang ‘biasa’ di kalangan perempuan.
Sialnya, beberapa lelaki yang mengaku punya masalah komitmen kebetulan kok ya mendengar bahwa ada perempuan-perempuan yang bersedia menjalani hubungan tanpa status… dan memanfaatkan hal ini.  Mereka lalu melakukan pendekatan, melakukan apa yang dilakukan orang pacaran, tapi selalu memperkenalkan si perempuan sebagai teman.
Don’t get me wrong, saya amat respek dengan orang-orang yang menjalani hubungan tanpa status ini sesuai dengan ‘perjanjian awalnya’ dan konsisten hingga akhir tanpa ada benih-benih cinta yang minta disirami dengan komitmen. 
Yang membuat saya gerah adalah ketika perasaan salah satu pihak mulai mendalam, sementara pihak lain masih konsisten HTS-an.  Lalu pihak yang perasaannya mendalam ini kemudian jadi rajin curhat, mendadak “sinis” pada cinta, mengaku bisa “main fisik dengan siapa saja” tanpa “perasaan” dan ujung-ujungnya menjadi orang yang menyebalkan karena ituuuu  terus yang diomongin.
Ada yang pernah begitu?  Atau ada yang pernah berurusan dengan orang yang begitu?
Kalau nggak pernah begitu bagus, tapi kalau sedang menjalani HTS, jangan sampai jadi begitu ya.
Lalu kenapa beberapa orang rela hubungannya tanpa status?  Ada beberapa sebab umum yang biasa menjadi latar belakang HTS.
  1. Dia sudah menikah atau punya pacar
Dengan kata lain (maaf jika kasar), Anda adalah selingkuhan atau orang ketiga.  Dia menikah dan tak mau meninggalkan istrinya, atau sudah berpacar tapi ingin icip-icip alternative lain sebelum memutuskan dengan siapa ia ingin berlabuh. Buat apa status kalau begitu?  Masuk akal, bukan?  Seperti saya pernah bilang di beberapa tulisan saya sebelumnya, lelaki tak jago dalam multitasking dalam pekerjaan, tapi soal cinta mereka cenderung expert dalam multi-womanizing.  It’s in their nature, girls.  Don’t fight it.  Work with it, or pick the best choice: leave him.  Ingat, kita bukan second best ;)
  1. Dia takut Anda tolak
Ini alasan yang biasanya sebenarnya merupakan ‘harapan’ Anda.  Yang sebenarnya adalah: kalau lelaki sudah ada di zona lingkaran satu yang terdekat dengan Anda dan dia suka pada Anda lebih dari sekadar teman, dia pasti bilang dan mengajak Anda jadi pacarnya.  Jika dia mau.  Jika dia tak mau?  Ya memang takkan ada move yang dilakukan.  Kalau dia beneran takut Anda tolak… ok ini saatnya Anda bertanya: nyatain cinta aja ga berani, apakah dia akan berani melindungi Anda nantinya?
  1. Keraguan
Satu lagi alasan klasik yang bisa diselimurkan menjadi ‘harapan’ Anda.  Ragu dalam pendekatan itu biasa.  Tapi kalau sampai HTS-an bertahun-tahun… bukan dia atau Anda yang ragu, tapi saya.  Saya jujur aja ragu jadinya: apa Anda berdua ini bisa berkomitmen pada akhirnya.  Buang waktu?  Bisa jadi.  Kadang keraguan ini muncul karena beda keyakinan dan/atau tak direstui orang tua.  Apakah HTS itu solusinya?  Menurut saya tidak, karena HTS akan membuat Anda terlena, dan kalau harus disudahi pada akhirnya, sakit hatinya akan dua kali lipat.  Apa yang harus dilakukan?  Sudahilah sebelum terlambat.
  1. Jatuh cinta pada konsepnya, bukan orangnya
Sering denger kasus orang punya pacar imajiner atau khayalan?  Nah, ini pacar khayalan yang ada bentuk fisiknya.  Yang disukai sebenarnya bukan dia, tapi ide bahwa punya pacar itu menyenangkan.  Kemana-mana ada yang gandeng.  Nonton ada yang nemenin.  Ciuman ada lawannya.  Jadi, Anda jatuh cinta dengan ide pacaran itu sendiri, bukan dengan orangnya.  Jadilah rela saja diajak HTS-an.  Kenapa? Ya toh nggak cinta-cinta amat.  Bahaya latennya adalah, jika lawan HTS ini yang terseok-seok jatuh bangun perasaannya karena Anda.
Dari banyaknya sebab ber-HTS-an di atas, yang jelas HTS bukan ide yang bagus jika kedua belah pihak tak siap menjaaninya tanpa ingin komitmen.  Mulut bisa berkata apa saja, tapi kadang hati suka ‘lain sendiri’.  Jadi, sebelum menceburkan diri ke dalam lautan ketidakpastian, pastikan hati Anda ditinggal dulu di daratan.  Jangan dibawa-bawa, karena kalau terbawa, kasihan dia.  Hati perempuan pada umumnya serentan kaca.  Mudah pecah walau ‘bungkusannya’ tampak kuat. 
Jika sudah terlanjur terombang-ambing di tengah lautan sialan itu, ayo sudahi segera dengan bertanya.  Jangan biarkan Anda terseret lebih jauh jika memang Anda ingin komitmen.  Jika tidak?  Ya jangan mengeluh, jalani saja dengan senang hati.
Jika memang suka ber-HTS ria, pastikan pihak yang Anda libatkan punya visi dan misi yang sama, serta selalulah siap dengan jawaban yang taktis jika sewaktu-waktu si pihak yang terlibat datang dan berkata: “Jadi kita ini sebenernya apa?” diiringi backsound lagu Armada Band: Mau Dibawa Ke Mana Hubungan Kita.  Jika perlu, mungkin siap-siap seperti saya saat ini, pakai helm sebelum dijitak massa karena salah menjawab.
Sebelum Anda membanting laptop atau smartphone Anda, sebaiknya saya sudahi saja pembahasan kali ini. 
Eh, tapi kenapa pengen banting laptop atau smartphone kalau nggak setuju sama saya?